BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Faktor yang penting dalam
penyelesaian suatu sengketa dalam kajian hukum kontrak internasional terletak
pada kesepakatan para pihak. Pada akhirnya para pihaklah yang menentukan
bagaimana sengketanya akan diselesaikan untuk memperoleh kepastian hukum. Untuk
memperoleh kepastian hukum kepada para pihak dalam menyelesaikan suatu
sengketa, pilihan hukum adalah salah satu klausul yang cukup penting dalam
kontrak untuk memberikan kepastian kepada para pihak untuk mengarahkan hukum
mana yang harus mereka gunakan dalam menyelesaikan sengketa kontraknya.
Untuk berlakunya atau sahnya suatu
kontrak sifat pilihan hukum bukan merupakan suatu persyaratan. Artinya
kesepakatan dan kebebasan para pihaklah yang membuat klausul pilihan hukum atau
tidak dalam suatu kontrak mereka. Meskipin sifatnya sepintas tidak penting,
menurut Sudargo Gautama dalam Huala Adolf bahwa para sarjana menganjurkan agar
klausul ini sebaiknya ada di dalam kontrak.12
A. RUMUSAN
MASALAH
Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sesuai
dengan latar belakang diatas yakni sebagai berikut :
1.
Apa
saja istilah dan pengertian lembaga pilihan hukum?
2.
Bagaimana
Pengakuan dan penerimaan prinsip pilihan hukum di indonesia?
3. Apa saja Macam macam pilihan hukum?
4. Bagaimana pembatasan pilihan hukum?
5. Apa saja asas pilihan hukum?
B. TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui istilah pilihan hukum
2.
Mengetahui Pengakuan dan
penerimaan prinsip pilihan hukum
3.
Mengetahui Macam macam pilihan hukum
4.
Mengetahui pembatasan
pilihan hukum
5.
Mengetahui asas asas pilihan hukum
BAB II PEMBAHASAN
A.Definisi lembaga
pilihan hukum
Banyak sekali istilah yang dikenal dalam
lembaga pilihan hukum beberapa diantaranya seperti Hijman dan van Brakel yang
mempergunakan istilah partij-autonimie,
sarjana belanda lainnya ,kollewijn menyebutnya Rechtskeuze selain itu juga ada choice
of law.selain itu juga dikenal istilah loi
d autonomie
Sudargo Gautama, dalam bukunya
Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, terbitan Badan Pembinaan Hukum
Nasional (hal. 168-170), mengenai pilihan hukum (choice of law/Rechtswahl),
para pihak dapat memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak
(perjanjian) dengan pembatasan, yaitu sepanjang tidak melanggar ketertiban umum
dan tidak boleh menjelma menjadi penyelundupan hukum.
B. Pengakuan
dan penerimaan prinsip pilihan hukum di indonesia
Berdasarkan ketentuan Pasal
1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”), yang dimaksud dengan
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.
Adapun
kewenangan arbitrase adalah untuk menyelesaikan sengketa perdagangan
(Vide: Pasal 5 UU Arbitrase dan APS), hal mana jika klausula
penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase telah disepakati para pihak dalam
suatu perjanjian, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang lagi untuk memeriksa
sengketa tersebut (Vide: Pasal 3 UU Arbitrase dan APS)
Sebagai
tambahan informasi untuk Anda, penyelesaian sengketa perdagangan dengan acara
arbitase memang dirancang agar penyelesaian sengketa tidak berlarut-larut
(maksimal 180 hari sejak arbiter/majelis arbiter terbentuk, vide Pasal
48 UU Arbitrase dan APS), pemeriksaan dilakukan secara tertutup
(Vide: Pasal 27 UU Arbitrase dan APS), serta putusannya bersifat
final, mengikat dan berkekuatan hukum tetap (Vide: Pasal 60 UU
Arbitrase dan APS). Namun demikian, sebagian dari praktisi Arbitrase juga
berpendapat bahwa biaya penyelesaian sengketa perdagangan dengan acara Arbitase
adalah mahal (Vide: Pasal 76 UU Arbitrase dan APS).
Menjawab
pertanyaan pokok Anda, kesepakatan para pihak dalam suatu perjanjian untuk
memilih yurisdiksi dan pilihan hukum yang berlaku tetap dikembalikan pada
penerapan dari asas kebebasan berkontrak (pacta sun servanda)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Hikmahanto Juwana,
selaku pakar hukum internasional pernah berpendapat kepada penjawab bahwa dalam
implementasi dari asas kebebasan berkontrak yang sifatnya universal dalam suatu
perjanjian juga tergantung pada posisi tawar menawar (bargaining power)
di antara para pihak dalam suatu perjanjian untuk menentukan kedua hal tersebut
di atas.
Dengan
demikian, apabila kita menggunakan Hukum Indonesia sebagai choice of
law, tentu saja akan lebih memudahkan kita dalam penguasaan dan
penerapan hukum yang berlaku, termasuk untuk mencari ahli hukum Indonesia yang
memiliki kompetensi di bidangnya. Namun apabila hukum asing yang dipakai,
apalagi jika berbeda sistem hukum (contoh: sistem hukum Singapura: common
law,) maka kita membutuhkan ahli hukum asing untuk dapat menjelaskan
bagaimana penerapan hukum asing dalam perjanjian tersebut.
Di sisi
lain, berdasarkan Pasal 66 UU Arbitrase dan APS, putusan arbitrase
dari Singapore International Arbitration Centre (SIAC)
sebagai choice of jurisdiction dalam suatu perjanjian akan
dikategorikan (dikualifisir) sebagai Putusan Arbitrase Internasional
(bandingkan dengan Putusan Arbitrase Nasional), yang hanya dapat
dilaksanakan, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang cukup banyak dan
bersifat kumulatif, yaitu:
a. Adanya
perjanjian bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan
Putusan Arbitrase Internasional;
b. Termasuk
dalam ruang lingkup hukum perdagangan menurut Hukum Indonesia.
c. Tidak
boleh bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat;
e. Putusan
Arbitrase Internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah
satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh
eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
C. Macam macam pilihan hukum
1) Pilihan Hukum Secara Tegas
Dalam
hubungan ini,kita teringat pada keberatan-keberatan dari pada kalangan
pedagang-pedagang Jerman terhadap Konvensi Jual Beli Internasional yang seperti
diketahui mereka mengedepankan prinsip pilihan hukum ini. Menurut pedagang
Jerman masalah hukum ini,terutama berkenaan dengan perdagangan dengan
Negara-negara berkembang. Menurut pengalaman pedagang-pedagang jerman secara
statistic terbukti bahwa hanya 2% dari pada kontrak-kontrak Internasional telah
menjelma menjadi sengketa. Dalam 98% kontrak-kontrak ternyata sama sekali tidak
sampai orang menjadi berperkara.
Oleh
karena itu,maka untuk tidak terjadinya pembatalan kontrak mereka menggunakan
praktek pilihan hukum.timbulnya perselisihan diantara pedagang tersebut.maka
persoalan mereka akan diadili secara arbitrase menurut ketentuan-ketentuan dari
International Chamber of Commerce (I.C.C.) di Paris. Dengan demikian secara
dengan sendirinya sudah tertarik persoalan ini dari Hakim Nasional Negara
berkembang dan juga hukum yang akan di pakai oleh badan arbitrase.ini merupakan
hukum dari Negara-negara nasional itu.
2) Pilihan Hukum Secara Diam-Diam
Dalam
hal ini, para pihak mengenai hukum yang mereka kehendaki adalah dari sikap
mereka dan isi dari bentuk perjanjian.antara lain,misalnya : jika para pihak
memilih domisili di kantor Pengadilan Negeri tempat di Negara X,maka dapat
ditarik kesimpulan dari hal ini bahwa yang di kehendaki oleh para pihak secara
diam-diam adalah supaya hukum dari Negara X itulah yang berlaku. Dari
contoh-contoh HATAH intern Indonesia dalam HAG di Indonesia kita melihat bahwa
pilihan hukum secara diam-diam seringkali terjadi.
Contoh-contoh
yurisprudensi ini sudah kita singgung waktu membicarakan masalah titik taut
primer dan titik taut sekunder pada HAG.misalnya Landraad Padang tahun
1930.telah menentukan bahwa untuk kontrak jual beli,sewa mobil antara
perusahaan Eropa dan seorang Indonesia golongan pribumi(Godok gelar Datoek
Radja Manteri),harus dipakai hukum Eropa karena semua syarat-syarat (bedingen)
yang tercantum dalam kontrak bersangkutan didasarkan atas hukum Eropa. (hal.173-179)
3) Pilihan Hukum Yang Dianggap
Dalam
HATAH Intern Indonesia,dikenal lembaga penundukan hukum secara dianggap ini.
Berkenaan dengan lembaga penundukan sukarela kepada hukum perdata Eropa
(Regeling op de vrijwilige onderwerping,S.1917,no.12). menurut peraturan
tersebut ada 4 macam penundukan sukarela :
(I)
Seluruhnya
(algeheel)
(II)
Untuk
sebagian (gedeeltelijk)
(III)
Untuk
perbuatan tertentu (voor een bapaalde rechtshandeling),dan
(IV)
Penundukan
secara dianggap (veronderstelde onderwerping).
4) Pilihan Hukum secara hypothetisch
Pilihan
hukum secara hypothetisch ini dikenal terutama di Jerman. Sebenarnya disini
tidak ada satu kemauan dari pihak untuk memilih.hakim lah yang melakukan
pilihan hukum ini secara hypothetisch.
Pilihan hukum dapat dibagi
menjadi 2,yaitu :
·
Pilihan
Hukum Alternatip
Para
pihak dapat menentukan bahwa dua atau lebih system hukum secara alternatip
berlaku untuk perjanjian.misalnya menentukan bahwa hukum domisili dari pihak
kesatu atau pihak lainnya yang berlaku hingga tergugat dapat mempergunakan
hukum tempat domisilinya.
·
Pilihan
Hukum Selektip
Dalam
hal ini hukum yang harus diperlakukan ditentukan oleh keadaan-keadaan HATAH
intern dari Negara yang system hukumnya telah dipilih. Persoalan-persoalan HPI
yang menyangkut sistem hukum dari negara yang beristim complex harus
diselesaikan dengan mempergunakan kaidah-kaidah HATAH intern dari negara yang
bersangkutan.
D.pembatasan pilihan
hukum
Adapun
batasan-batasan terhadap pilihan hukum adalah sebagai berikut: pilihan hukum
hanya boleh dilakukan sepanjang tidak melaggar apa yang dikenal sebagai
“ketertiban umum” (public policy), pilihan hukum tidak boleh menjelma menjadi
penyelundupan hukum, pilihan hukum dibatasi oleh sistem hukum tertentu yang
memaksa (dwingen recht)11.
A. Pilihan Hukum Tidak Melanggar Ketertiban Umum
Persoalan pilihan hukum mempunyai hubungan erta dengan
masalah ketertiban umum. Pilihan hukum diperkenankan berdasarkan asas kebebasan
berkontrak. Namun kebebasan tidak berarti tidak ada batasnya. Kebebasan
tersebut dibatasi oleh ketentuan ketertiban umum (public policy)12.
Ketertiban umum merupakan suatu rem darurat yang dapat
menghentikan diperlakukannya hukum asing. Juga ketertiban umum merupakan suatu
rem darurat terhadap pemakaian otonomi para pihak secara terlampau leluasa.
Ketertiban umum menjaga bahwa hukum yang telah dipiih oleh para pihak adalah
tidak bertentangan dengan sendi-sendi asasi dalam hukum dan masyarakat sang
hakim13. Pemakaiannya juga harus secara hati-hati dan seirit mungkin, karena
apabila terlalu cepat menggunakan rem darurat ini, maka hukum perdagangan
internasional juga tidak dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika terlalu
banyak mempergunakan lembaga ketertiban umum, berarti kita akan selalu memakai
hukum nasional kita sendiri, padahal hukum perdata internasional kita sudah
menentukan dipakainya hukum.
Konsep ketertiban umum berlainan di masing-masing Negara.
Ketertiban umum terikat pada tempat waktu. Jika situasi dan kondisi berlainan, paham
ketertiban umum juga berubah. Public policy juga mempunyai hubungan erat dengan
pertimbangan-pertimbangan politis. Boleh dikatakan bahwa pembuat kebijakan
memegang peranan yang penting dalam ketertiban umum ini14.
Sesuai dengan prinsip hukum yang universal dan sangat
mendasar pula bahwa dikalahkan oleh kepentingan pribadi, oleh karena itu, jika
ada kontrak perdagangan yang bertentangan dengan ketertiban umum, maka kontrak
tersebut sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di suatu Negara15.
B. Pilihan Hukum Tidak Boleh Menjelma sebagai Penyelundup
Hukum
Ada hubungan yang jelas antara penyelundupan hukum dan
pilihan hukum. Pada penyelundupan hukum sang individu mengikuti
ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya sendiri. Pada pilihan hukum tidak
diadakan pilihan antara: mengikuti undang-undang atau mengikuti urusan yang
dibuat sendiri. Pada pilihan hukum, yang dipilih adalah ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku bagi Negara-negara para pihak. Sedangkan pada penyelundupan
hukum yang dipilih adalah titik pertalian yang bersifat obyektif seperti
misalnya kewarganegaraan, domisili, tempat kontrak dilangsungkan (lex loci
contractus), maupun tempat letaknya benda (lex rei sitae). Semua titik
pertautan ini dipengaruhi oleh para pihak dalam penyelundupan hukum. Mereka
misalnya merubah kewarganegaraan atau memindahkan tempat barang atau membuat
kontrak di tempat lain. Semua ini menunjukkan perbuatan-perbuatan yang
merupakan penyelundupan hukum16.
Pilihan hukum harus dilakukan secara bonafid, tidak ada
khusus memilih suatu tempat tertentu untuk maksud menyelundupkan
peraturan-peraturan lain. Dengan lain perkataan yang dapat dipilih adalah hukum
yang mempunyai hubungan dengan kontrak.
C. Pembatasan oleh Sistem Hukum Tertentu yang Memaksa
(dwingen recht
Salah satu pembatasan dalam pilihan hukum adalah mengenai
sistem hukum tertentu yang bersifat memaksa. Para pihak tidak dapat menyimpang
dari kaidah-kaidah yang bersifat memaksa. Hal ini sudah umum diterima baik
dalam suasana hukum intern maupun internasional17. Hukum yang memaksa (dwingen
recht) membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan pilihan hukum.
Pembatasan-pembatasan tersebut ditentukan oleh keadaan ekonomi kehidupan
modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan wewenang dari
penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil dalam ekonomi18.
E.Asas-asas dalam penentuan
pilihan hukum
Asas-asas tentang penentuan “The proper law of contract”
Titik taut sekunder menjadi indikator
untuk menentuka the proper law of contract
a) Asas lex loci contractus
Berdasarkan asas ini “the proper of
contract” adalah hukum dari tempat pembuatan kontrak. Tempat dimana
dilaksanakannya tindakan terakhir yang dibutuhkan untuk terbentuknya
kesepakatan.
b) Asas lex loci solutionis
Asas lex loci solutionis adalah hukum
dari tempat pelaksanaan perjanjian. Asas ini mengangap bahwa” the proper law of
contract” adalah lex loci solutionis ini sebenarnya merupakan variasi dari
penerapan locus regid actum. Dalam perkembangannya ternyata asa lex loci
sulotionis tidak selalu memberikan jalan keluar yang memuaskan. Karena itu
dalam praktek, tidak ditutup kemungkinan untuk menundukan bagian-bagian kontrak
pada sistem hukum yang berbeda, tetapi hal semacam itu tampaknya akan
menyulitkan pengadilan untuk menyelesaikan perkara.
c) Asas kebebasan para pihak
Asas ini sebenarnya merupakan
perkembangan apresiasi terhadap asas utama dalam hukum perjanjian, yaitu setiap
orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuki mengikatkan diri pada
perjanjian”.
Bab III
Analisis
D. Kasus-kasus
1. Perkara Zechav tahun 1935.
Samuel Jones & Co (ekspor ltd) vs
Louis Zecha. Zecha bertempat tinggal di Sukabumi dan berdagang di bawah merek
“Soekaboemische Snelpersdrukkerij” menggugat perusahaan Inggris Samuel Jones
& co. Berkedudukan di London, menuntut supaya dibayar 12 wessel yang
ditarik oleh perusahaan George Mann & Coy Ltd di London. Peralihan wessel
kepada Jones hanya perbuatan pura-pura untuk memudahkan penagihan terhadap
Zecha. Persoalan yang timbal adalah hukum manakah yang harus dipergunakan untuk
endosemen dan cessie yang telah dilakukan. Menurut hakim tingkat pertama,
endosmen yang telah ditarik di London menggunakan bahasa Inggris, juga mata
uang Poundsterling, Berta lex loci contractusnya adalah di London menurut cara
yang berlaku disana. Maka Hakim beranggapan bahwa untuk endosmen berlaku hukum
Inggris. Namun Zecha keberatan dan berpendaoat bahwa seharusnya bukan hukum
Inggris tetapi hukum Indonesia lah yang dipakai. Pengadilan tinggi juga
sependapat, bahwa akta cessie dibuat dalam bahasa Belanda dan juga isi dari akte,
hal ini menunjukkan bahwa para pihak telah memilih hukum.
Indonesia sebagai sistem hukum yang
harus berlaku. Walaupun cessie dilakukan di London, pengadilan beranggapan
bahwa hukum Indonesia lah yang berlaku, bukan lex loci contractus yang
menentukan, tetapi maksud dari para pihak dan mengakui pilihan hukum sebagai
titik pertalian sekunder untuk kontral hukum perdagangan internasional ini.
2. Kasus “Treller Nicolas” 1924
Mahkamah Agung Belanda yang memutus
perkara stoomtreiler Nicolaas, yang telah mengasuransikan sejumlah F. 80.000,
untuk perjalanan dari Ijmuiden ke Immingham pulang pergi, asuransi laut ditutup
dengan para tergugat, yaitu NV. Mascapai van Assurantie dan 10 maskapai lainnya
(di antaranya perusahaan Denmark dan Swedia).
Asuransi ini ditutup atas Casco,
ketel, mesin-mesin dan alat perlengkapan kapal tersebut. Dalam perjalanan kapal
ini tenggelam, dan penggugat menuntut pembayaran dari maskapai asuransi yang
tidak mau membayar. Para tergugat yang terdiri dari 11 maskapai asuransi di
mana 6 berkedudukan di Nederland dan berkewarganegaraan Belanda menolak
membayar. Meraka beranggapan bahwa pada saat terjadinya kontrak asuransi, para
pihak menghendaki pemakaian hukum Inggris. Menurut ketentuan dalam kontrak
asuransi, dinyatakan Marine Insurance Act Inggris lah yang berlaku Juga segala
kondisi dan urgensi dari polis Llyods Inggris yang dipergunakan, sedangkan
polis ini dianggap seolah-olah ditandatangani di London. Mereka beranggapan
bahwa polis bersangkutan adalah batal menurut hukum Inggris, karena dalam polis
memuat klausula yang melarang hukum Inggris. Dalam klausula ditentukan bahwa
tidak diperlukan pembuktian lain mengenai kepentingan nilai atau anggaran kapal
yang ditentukan dalam polis tersebut. Klausula ini dianggap bertentangan dengan
sectie 4 Marine Insurance Act 1906 yang menetapkan bahwa tiap perjanjian
asuransi yang bersifat “perkiraan” adalah batal menurut hukum Inggris,
karenanya mereka menolak untuk membayar kepada pihak penggugat.
Sedangkan penggugat beranggapan
bahwa, walaupun perjanjian bersangkutan pada umumnya berlakuhukum Inggris, hal
ini dimungkinkan pula bahwa untuk hal yang khusus dalam klausul ini berlaku
hukum Belanda, karena polis asuransi ditandatangani di Nederland dan 6 dari 11
perusahaan asuransi berkedudukan di Nederland serta berstatus warga Negara
Belanda. Tidak perlu seluruh perjanjian tunduk pada satu macam hukum saja,
yaitu hukum Inggris, tapi dimungkinkan pula bahwa sebagian lagi, yaitu
perjanjian asuransi diatur oleh hukum Belanda.
Oleh Mahkamah Agung Belanda
dipertimbangkan bahwa menurut hukum belanda, para pihak tidak diwajibkan untuk
mengatur seluruh bagian perjanjian mereka oleh hanya satu macam hukum serta
kaidah-kaidah yang memaksia dari suatu hukum asing juga tidak perlu diperlukan
jika para pihak tidak menghendaki diberlakukannya kaidah memaksa ini walaupun
merkea telah menerima berlakunya hukum asing bersangkutan, perjanjian asuransi
bersangkutan tidak batal. Majelis Hakim Mahkamah Agung telah menerima prinsip
pilihan hukum oleh para pihak dalam keputusan ini dengan
pertimbangan-pertimbangan politis. Boleh dikatakan bahwa pembuat kebijakan
memegang peranan yang penting dalam ketertiban umum ini.
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN
Batas-batas Negara bukan lagi halangan dalam
bertransaksi. Kemajuan teknologi dan komunikasi mengakibatkan aktivitas ekonomi
tidak lagi terkungkung oleh batas-batas Negara. Para pihak sebelum menutup
suatu perjanjian dagang, perlu bersikap hati-hati terhadap calon mitra dagang,
substansi perjanjian, hak dan kewajiban, resiko, pilihan hukum dan forum
penyelesaian sengketa. Para pihak yang mengadakan perjanjian dagang berhak
melakukan kesepakatan tentang pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum
(choice of forum) yang berlaku bagi perjanjian tersebut. Ketika timbul
perselisihan, para pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan mereka
dengan menggunakan peradilan dari yurisdiksi yang dipilih.