Pengaruh Positif dan Negatif Budaya Terhadap Kesehatan
Salah satunya kita mengambil budaya suku sasak.Dalam Suku Sasak ada sebuah kepercayaan masyarakat suku sasak, kotoran sapi ditemukan
oleh peneliti, setelah melakukan penelitian selama betahun-tahun, menemukan ada
sebuah kandungan yang berguna untuk menjauhkan rumah dari serangga kecil,
kalajengking, dan ulat. Di daerah pedesaan, nyamuk adalah masalah nyata. Dengan
menggunakan kotoran sapi untuk membersihkan lantai dan dinding, nyamuk akan keluar
dan menjauh dari rumah.
Dampak negatif dari pengunaan kotoran sapi tersebut dapat menyebabkan saat
cuaca panas bau menyengat, sumber air yang tercemar, kebersihan lingkungan yang
terganggu, kenyamanan yang terganggu, tempat beribadah terganggu. Adapun hadits dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau ditanya mengenai hukum shalat di kandang
kambing,
“Silakan shalat di kandang kambing, di sana mendatangkan keberkahan (ketenangan).”
(HR. Abu Daud no. 184 dan Ahmad 4: 288. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
tersebut shahih)
Hadits di atas juga menjadi dalil tentang tidak najisnya kotoran kambing. Karena
orang yang shalat di kandang kambing masih boleh. Padahal di kandang tersebut tak lepas
dari kotoran. Kambing adalah hewan yang halal dimakan. Maka dari itu, para ulama
mengatakan bahwa kotoran hewan yang halal dimakan itu suci, tidak najis.
Penyakit yang Timbul Akibat Budaya tsb
Terkait budaya Masyarakat Suku Sasak yang melapisi rumah mereka dengan
kotoran sapi dan kerbau, maka secara tidak langsung penyakit yang mungkin timbul dari
kebiasaan ini antara lain, diare, cacingan, gatal-gatal, sesak napas, keracunan yang
diakibatkan dari gas metana yang dihasilkan oleh kotoran sapi dan kerbau. Seperti yang
kita ketahui, kotoran hewan, khususnya sapi dan kerbau mengandung cacing pita (taenia
solium dan taenia saginata) sehingga tidak menutup kemungkinan masyarakat tersebut
menderita penyakit cacingan.
Budaya menurut Islam
Agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang melekat erat dalam diri
manusia. Sifatnya sanga tpribadi, terselubung dan kadang-kadang diliputi oleh hal-hal
yang bernuansa mitologis. Kualitas etos seseorang ditentukan oleh nilai-nilai kepercayaan
yang melekat pada dirinya, yang dalam bahasa agama, hal ini disebut sebagai aqidah.
Agama merupakan refleksi dari kemauan Tuhan, secara konsep tua lilahiah,
bersifat mutlak. Namun ketika turun kepada manusia, ia berubah menjadi relatif,
tergantung pada latar belakang dan kemampuan manusia. Oleh karena itu, pemahaman
atau penangkapan terhadap pesan-pesan agama akan berbeda dari satu orang ke yang lain.
Hubungan Islam dengan Budaya Lokal
Agama yang benar itu bagaikan lampu yang menerangi umat untuk berjalan
menuju kearah kemajuan. Mengamalkan ajaran-ajaran agama adalah petunjuk jalan untuk
seluruh umat manusia. Agama adalah ciptaan Allah, maka akan terasa janggal bagi akal
sehat, jika sekiranya Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk berbuat kejahatan
yang dapat menyebabkan mereka terhambat untuk mencapai kehidupan yang layak dan di
ridhai-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat membahagiakan manusia, kecuali
mengamalkan agama dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mencelakakan mereka kecuali
mengabaikan agama atau berpegang dengan bagian luar (kulit) agama dan meninggalkan
inti ajarannya. Agama ibarat pedang bermata dua, dua sisi sama-sama tajam. Apabila ada
orang yang mengaku beragama, berusaha mengamalkan agama sebagaimana mestinya,
maka agama akan menjadi penolong baginya dalam menghadapi segala kesulitan,
menjadi petunjuk jalan di kala dalam keadaan kebingungan serta menjadi lentera yang
bersinar dalam kegelapan. Sedangkan apabila orang yang mengaku beragama tetapi salah
dalam mengamalkan ajaran agamanya, maka akan membawa petaka baginya dan orang
lain. Oleh sebab itu, dalam mengamalkan agama haruslah benar dan sesuai dengan aturan
syariat yang ada. Sehingga agama tidak hanya sebatas pengamalan saja akan tetapi
menjadi menarik untuk diteliti dan dikaji bersama. Nasr Hamid Abu Zaid
mengelompokkan penelitian terhadap agama (dalam hal ini adalah Islam) kedalam tiga
wilayah. Pertama, wilayah teks asli Islam, yaitu al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua,
pemikiran Islam yang merupakan ragam cara menafsirkan teks asli Islam yang dapat
ditemukan dalam empat pokok cabang, yaitu: hukum, teologi, filsafat, dan tasawuf.
Ketiga, praktek yang dilakukan kaum Muslim dalam berbagai macam latar belakang
sosial.
Kita sadari bahwa agama dapat menjadi sumber moral dan etika serta bersifat
absolut, tetapi pada sisi lain juga menjadi system kebudayaan, yakni ketika wahyu itu
direspon oleh manusia atau mengalami proses transformasi dalam kesadaran dan sistem
kognisi manusia. Dalam konteks ini, agama disebut sebagai gejala kebudayaan. Sebagai
sistem kebudayaan, agama menjadi establishment dan kekuatan mobilisasi yang sering
kali menimbulkan konflik. Di sinilah ketika agama (sebagai kebudayaan) difungsikan
dalam masyarakat secara nyata maka akan melahirkan realitas yang serba paradoks.
Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal
yang produktif dan tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis. Jika memang terjadi
perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa secara
pelan-pelan menyelinap masuk kedalam “dunia lokal” yang unik tersebut. Mungkin untuk
sementara akan terjadi proses sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat wajar, dan in the
long run, seiring dengan perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama, gejala
semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Peran Perawat dalam Mengatasi Perbedaan Budaya
Strategi yang bisa digunakan prawat adalah perlindungan atau mempertahankan
budaya, mengakomodasi atau negoasiasi budaya dan mengubah atau mengganti budaya
klien (Leininger, 1991).
1. Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan
kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-
nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau
mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi.
2. Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu
klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan.
Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih
mendukung peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang
makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani
yang lain.
3. Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status
kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya
merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih
menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Salah satunya kita mengambil budaya suku sasak.Dalam Suku Sasak ada sebuah kepercayaan masyarakat suku sasak, kotoran sapi ditemukan
oleh peneliti, setelah melakukan penelitian selama betahun-tahun, menemukan ada
sebuah kandungan yang berguna untuk menjauhkan rumah dari serangga kecil,
kalajengking, dan ulat. Di daerah pedesaan, nyamuk adalah masalah nyata. Dengan
menggunakan kotoran sapi untuk membersihkan lantai dan dinding, nyamuk akan keluar
dan menjauh dari rumah.
Dampak negatif dari pengunaan kotoran sapi tersebut dapat menyebabkan saat
cuaca panas bau menyengat, sumber air yang tercemar, kebersihan lingkungan yang
terganggu, kenyamanan yang terganggu, tempat beribadah terganggu. Adapun hadits dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau ditanya mengenai hukum shalat di kandang
kambing,
صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ
“Silakan shalat di kandang kambing, di sana mendatangkan keberkahan (ketenangan).”
(HR. Abu Daud no. 184 dan Ahmad 4: 288. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
tersebut shahih)
Hadits di atas juga menjadi dalil tentang tidak najisnya kotoran kambing. Karena
orang yang shalat di kandang kambing masih boleh. Padahal di kandang tersebut tak lepas
dari kotoran. Kambing adalah hewan yang halal dimakan. Maka dari itu, para ulama
mengatakan bahwa kotoran hewan yang halal dimakan itu suci, tidak najis.
Penyakit yang Timbul Akibat Budaya tsb
Terkait budaya Masyarakat Suku Sasak yang melapisi rumah mereka dengan
kotoran sapi dan kerbau, maka secara tidak langsung penyakit yang mungkin timbul dari
kebiasaan ini antara lain, diare, cacingan, gatal-gatal, sesak napas, keracunan yang
diakibatkan dari gas metana yang dihasilkan oleh kotoran sapi dan kerbau. Seperti yang
kita ketahui, kotoran hewan, khususnya sapi dan kerbau mengandung cacing pita (taenia
solium dan taenia saginata) sehingga tidak menutup kemungkinan masyarakat tersebut
menderita penyakit cacingan.
Budaya menurut Islam
Agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang melekat erat dalam diri
manusia. Sifatnya sanga tpribadi, terselubung dan kadang-kadang diliputi oleh hal-hal
yang bernuansa mitologis. Kualitas etos seseorang ditentukan oleh nilai-nilai kepercayaan
yang melekat pada dirinya, yang dalam bahasa agama, hal ini disebut sebagai aqidah.
Agama merupakan refleksi dari kemauan Tuhan, secara konsep tua lilahiah,
bersifat mutlak. Namun ketika turun kepada manusia, ia berubah menjadi relatif,
tergantung pada latar belakang dan kemampuan manusia. Oleh karena itu, pemahaman
atau penangkapan terhadap pesan-pesan agama akan berbeda dari satu orang ke yang lain.
Hubungan Islam dengan Budaya Lokal
Agama yang benar itu bagaikan lampu yang menerangi umat untuk berjalan
menuju kearah kemajuan. Mengamalkan ajaran-ajaran agama adalah petunjuk jalan untuk
seluruh umat manusia. Agama adalah ciptaan Allah, maka akan terasa janggal bagi akal
sehat, jika sekiranya Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk berbuat kejahatan
yang dapat menyebabkan mereka terhambat untuk mencapai kehidupan yang layak dan di
ridhai-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat membahagiakan manusia, kecuali
mengamalkan agama dan tidak ada sesuatu pun yang dapat mencelakakan mereka kecuali
mengabaikan agama atau berpegang dengan bagian luar (kulit) agama dan meninggalkan
inti ajarannya. Agama ibarat pedang bermata dua, dua sisi sama-sama tajam. Apabila ada
orang yang mengaku beragama, berusaha mengamalkan agama sebagaimana mestinya,
maka agama akan menjadi penolong baginya dalam menghadapi segala kesulitan,
menjadi petunjuk jalan di kala dalam keadaan kebingungan serta menjadi lentera yang
bersinar dalam kegelapan. Sedangkan apabila orang yang mengaku beragama tetapi salah
dalam mengamalkan ajaran agamanya, maka akan membawa petaka baginya dan orang
lain. Oleh sebab itu, dalam mengamalkan agama haruslah benar dan sesuai dengan aturan
syariat yang ada. Sehingga agama tidak hanya sebatas pengamalan saja akan tetapi
menjadi menarik untuk diteliti dan dikaji bersama. Nasr Hamid Abu Zaid
mengelompokkan penelitian terhadap agama (dalam hal ini adalah Islam) kedalam tiga
wilayah. Pertama, wilayah teks asli Islam, yaitu al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua,
pemikiran Islam yang merupakan ragam cara menafsirkan teks asli Islam yang dapat
ditemukan dalam empat pokok cabang, yaitu: hukum, teologi, filsafat, dan tasawuf.
Ketiga, praktek yang dilakukan kaum Muslim dalam berbagai macam latar belakang
sosial.
Kita sadari bahwa agama dapat menjadi sumber moral dan etika serta bersifat
absolut, tetapi pada sisi lain juga menjadi system kebudayaan, yakni ketika wahyu itu
direspon oleh manusia atau mengalami proses transformasi dalam kesadaran dan sistem
kognisi manusia. Dalam konteks ini, agama disebut sebagai gejala kebudayaan. Sebagai
sistem kebudayaan, agama menjadi establishment dan kekuatan mobilisasi yang sering
kali menimbulkan konflik. Di sinilah ketika agama (sebagai kebudayaan) difungsikan
dalam masyarakat secara nyata maka akan melahirkan realitas yang serba paradoks.
Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal
yang produktif dan tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis. Jika memang terjadi
perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa secara
pelan-pelan menyelinap masuk kedalam “dunia lokal” yang unik tersebut. Mungkin untuk
sementara akan terjadi proses sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat wajar, dan in the
long run, seiring dengan perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama, gejala
semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Peran Perawat dalam Mengatasi Perbedaan Budaya
Strategi yang bisa digunakan prawat adalah perlindungan atau mempertahankan
budaya, mengakomodasi atau negoasiasi budaya dan mengubah atau mengganti budaya
klien (Leininger, 1991).
1. Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan
kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-
nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau
mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi.
2. Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu
klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan.
Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih
mendukung peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang
makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani
yang lain.
3. Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status
kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya
merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih
menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.