MAKALAH Asal Mula Hukum Dagang Diajukan tugas Mata Kuliah Hukum Dagang dan Kepailitan



MAKALAH
                               Asal Mula Hukum Dagang
Diajukan sebagai
Tugas Mata Kuliah Hukum Dagang dan Kepailitan



PROGRAM STUDI HUKUM



KATA PENGANTAR




Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam cipataan-Nya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Habibillah Muhammad Saw yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempunya dengan bahasa yang sangat indah.
Kami disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang kami beri judul Pilihan hukum dan Perjanjian Intenasionak sebagai tugas mata kuliah Hukum Perdata Intrnasional.Dalam makalah ini kami mencoba untuk menjelaskan tentang istilah pilihan hukum,pentingnya hukum internasional,dan hukum sebagai titik pertalian
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Dan penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya- karya kami dilain waktu.




Tanah grogot,2 November 2019











DAFTAR ISI

BAB II : Landasan Teori
D.    pembatasan pilihan hukum…………………………………………………9
E.     .Asas-asas dalam penentuan pilihan hukum……………………………….11
BAB II : Analisis
A.    Kasus-kasus……………………………………………………………….12



BAB I PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG


          Faktor yang penting dalam penyelesaian suatu sengketa dalam kajian hukum kontrak internasional terletak pada kesepakatan para pihak. Pada akhirnya para pihaklah yang menentukan bagaimana sengketanya akan diselesaikan untuk memperoleh kepastian hukum. Untuk memperoleh kepastian hukum kepada para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa, pilihan hukum adalah salah satu klausul yang cukup penting dalam kontrak untuk memberikan kepastian kepada para pihak untuk mengarahkan hukum mana yang harus mereka gunakan dalam menyelesaikan sengketa kontraknya.
         Untuk berlakunya atau sahnya suatu kontrak sifat pilihan hukum bukan merupakan suatu persyaratan. Artinya kesepakatan dan kebebasan para pihaklah yang membuat klausul pilihan hukum atau tidak dalam suatu kontrak mereka. Meskipin sifatnya sepintas tidak penting, menurut Sudargo Gautama dalam Huala Adolf bahwa para sarjana menganjurkan agar klausul ini sebaiknya ada di dalam kontrak.12





















A.    RUMUSAN MASALAH

Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sesuai dengan latar belakang diatas yakni sebagai berikut :
1.      Apa saja istilah dan pengertian lembaga pilihan hukum?
2.      Bagaimana Pengakuan dan penerimaan prinsip pilihan hukum di indonesia?
3.      Apa saja Macam macam pilihan hukum?
4.      Bagaimana pembatasan pilihan hukum?
5.      Apa saja asas pilihan hukum?

B.     TUJUAN

Makalah ini bertujuan untuk :
1.      Mengetahui istilah pilihan hukum
2.      Mengetahui Pengakuan dan penerimaan prinsip pilihan hukum
3.      Mengetahui Macam macam pilihan hukum
4.      Mengetahui  pembatasan pilihan hukum
5.      Mengetahui asas asas pilihan hukum



BAB II PEMBAHASAN


A.Definisi lembaga pilihan hukum

     Banyak sekali istilah yang dikenal dalam lembaga pilihan hukum beberapa diantaranya seperti Hijman dan van Brakel yang mempergunakan istilah partij-autonimie, sarjana belanda lainnya ,kollewijn menyebutnya Rechtskeuze selain itu juga ada choice of law.selain itu juga dikenal istilah loi d autonomie
        Sudargo Gautama, dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional (hal. 168-170), mengenai pilihan hukum (choice of law/Rechtswahl), para pihak dapat memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak (perjanjian) dengan pembatasan, yaitu sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan tidak boleh menjelma menjadi penyelundupan hukum.


  B.  Pengakuan dan penerimaan prinsip pilihan hukum di indonesia

          Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan  Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”), yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Adapun kewenangan arbitrase adalah untuk menyelesaikan sengketa perdagangan (Vide: Pasal 5 UU Arbitrase dan APS), hal mana jika klausula penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase telah disepakati para pihak dalam suatu perjanjian, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang lagi untuk memeriksa sengketa tersebut (Vide: Pasal 3 UU Arbitrase dan APS)

Sebagai tambahan informasi untuk Anda, penyelesaian sengketa perdagangan dengan acara arbitase memang dirancang agar penyelesaian sengketa tidak berlarut-larut (maksimal 180 hari sejak arbiter/majelis arbiter terbentuk, vide Pasal 48 UU Arbitrase dan APS), pemeriksaan dilakukan secara tertutup (Vide: Pasal 27 UU Arbitrase dan APS), serta putusannya bersifat final, mengikat dan berkekuatan hukum tetap (Vide: Pasal 60 UU Arbitrase dan APS). Namun demikian, sebagian dari praktisi Arbitrase juga berpendapat bahwa biaya penyelesaian sengketa perdagangan dengan acara Arbitase adalah mahal (Vide: Pasal 76 UU Arbitrase dan APS).

Menjawab pertanyaan pokok Anda, kesepakatan para pihak dalam suatu perjanjian untuk memilih yurisdiksi dan pilihan hukum yang berlaku tetap dikembalikan pada penerapan dari asas kebebasan berkontrak (pacta sun servanda) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum PerdataHikmahanto Juwana, selaku pakar hukum internasional pernah berpendapat kepada penjawab bahwa dalam implementasi dari asas kebebasan berkontrak yang sifatnya universal dalam suatu perjanjian juga tergantung pada posisi tawar menawar (bargaining power) di antara para pihak dalam suatu perjanjian untuk menentukan kedua hal tersebut di atas.

Dengan demikian, apabila kita menggunakan Hukum Indonesia sebagai choice of law, tentu saja akan lebih memudahkan kita dalam penguasaan dan penerapan hukum yang berlaku, termasuk untuk mencari ahli hukum Indonesia yang memiliki kompetensi di bidangnya. Namun apabila hukum asing yang dipakai, apalagi jika berbeda sistem hukum (contoh: sistem hukum Singapura: common law,) maka kita membutuhkan ahli hukum asing untuk dapat menjelaskan bagaimana penerapan hukum asing dalam perjanjian tersebut.

Di sisi lain, berdasarkan Pasal 66 UU Arbitrase dan APS, putusan arbitrase dari Singapore International Arbitration Centre (SIAC) sebagai choice of jurisdiction dalam suatu perjanjian akan dikategorikan (dikualifisir) sebagai Putusan Arbitrase Internasional (bandingkan dengan Putusan Arbitrase Nasional), yang hanya dapat dilaksanakan, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang cukup banyak dan bersifat kumulatif, yaitu:
a.    Adanya perjanjian bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
b.    Termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan menurut Hukum Indonesia.
c.    Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum;
d.    Dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
e.    Putusan Arbitrase Internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 C.  Macam macam pilihan hukum

1)      Pilihan Hukum Secara Tegas
Dalam hubungan ini,kita teringat pada keberatan-keberatan dari pada kalangan pedagang-pedagang Jerman terhadap Konvensi Jual Beli Internasional yang seperti diketahui mereka mengedepankan prinsip pilihan hukum ini. Menurut pedagang Jerman masalah hukum ini,terutama berkenaan dengan perdagangan dengan Negara-negara berkembang. Menurut pengalaman pedagang-pedagang jerman secara statistic terbukti bahwa hanya 2% dari pada kontrak-kontrak Internasional telah menjelma menjadi sengketa. Dalam 98% kontrak-kontrak ternyata sama sekali tidak sampai orang menjadi berperkara.
Oleh karena itu,maka untuk tidak terjadinya pembatalan kontrak mereka menggunakan praktek pilihan hukum.timbulnya perselisihan diantara pedagang tersebut.maka persoalan mereka akan diadili secara arbitrase menurut ketentuan-ketentuan dari International Chamber of Commerce (I.C.C.) di Paris. Dengan demikian secara dengan sendirinya sudah tertarik persoalan ini dari Hakim Nasional Negara berkembang dan juga hukum yang akan di pakai oleh badan arbitrase.ini merupakan hukum dari Negara-negara nasional itu.
2)      Pilihan Hukum Secara Diam-Diam
Dalam hal ini, para pihak mengenai hukum yang mereka kehendaki adalah dari sikap mereka dan isi dari bentuk perjanjian.antara lain,misalnya : jika para pihak memilih domisili di kantor Pengadilan Negeri tempat di Negara X,maka dapat ditarik kesimpulan dari hal ini bahwa yang di kehendaki oleh para pihak secara diam-diam adalah supaya hukum dari Negara X itulah yang berlaku. Dari contoh-contoh HATAH intern Indonesia dalam HAG di Indonesia kita melihat bahwa pilihan hukum secara diam-diam seringkali terjadi.
Contoh-contoh yurisprudensi ini sudah kita singgung waktu membicarakan masalah titik taut primer dan titik taut sekunder pada HAG.misalnya Landraad Padang tahun 1930.telah menentukan bahwa untuk kontrak jual beli,sewa mobil antara perusahaan Eropa dan seorang Indonesia golongan pribumi(Godok gelar Datoek Radja Manteri),harus dipakai hukum Eropa karena semua syarat-syarat (bedingen) yang tercantum dalam kontrak bersangkutan didasarkan atas hukum Eropa.     (hal.173-179)

3)      Pilihan Hukum Yang Dianggap
Dalam HATAH Intern Indonesia,dikenal lembaga penundukan hukum secara dianggap ini. Berkenaan dengan lembaga penundukan sukarela kepada hukum perdata Eropa (Regeling op de vrijwilige onderwerping,S.1917,no.12). menurut peraturan tersebut ada 4 macam penundukan sukarela :


(I)                Seluruhnya (algeheel)
(II)             Untuk sebagian (gedeeltelijk)
(III)          Untuk perbuatan tertentu (voor een bapaalde rechtshandeling),dan
(IV)          Penundukan secara dianggap (veronderstelde onderwerping).


4)      Pilihan Hukum secara hypothetisch
Pilihan hukum secara hypothetisch ini dikenal terutama di Jerman. Sebenarnya disini tidak ada satu kemauan dari pihak untuk memilih.hakim lah yang melakukan pilihan hukum ini secara hypothetisch.
Pilihan hukum dapat dibagi menjadi 2,yaitu :
·         Pilihan Hukum Alternatip
Para pihak dapat menentukan bahwa dua atau lebih system hukum secara alternatip berlaku untuk perjanjian.misalnya menentukan bahwa hukum domisili dari pihak kesatu atau pihak lainnya yang berlaku hingga tergugat dapat mempergunakan hukum tempat domisilinya.
·         Pilihan Hukum Selektip
Dalam hal ini hukum yang harus diperlakukan ditentukan oleh keadaan-keadaan HATAH intern dari Negara yang system hukumnya telah dipilih. Persoalan-persoalan HPI yang menyangkut sistem hukum dari negara yang beristim complex harus diselesaikan dengan mempergunakan kaidah-kaidah HATAH intern dari negara yang bersangkutan. 

 






D.pembatasan pilihan hukum

       Adapun batasan-batasan terhadap pilihan hukum adalah sebagai berikut: pilihan hukum hanya boleh dilakukan sepanjang tidak melaggar apa yang dikenal sebagai “ketertiban umum” (public policy), pilihan hukum tidak boleh menjelma menjadi penyelundupan hukum, pilihan hukum dibatasi oleh sistem hukum tertentu yang memaksa (dwingen recht)11.

A. Pilihan Hukum Tidak Melanggar Ketertiban Umum
Persoalan pilihan hukum mempunyai hubungan erta dengan masalah ketertiban umum. Pilihan hukum diperkenankan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Namun kebebasan tidak berarti tidak ada batasnya. Kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan ketertiban umum (public policy)12.

Ketertiban umum merupakan suatu rem darurat yang dapat menghentikan diperlakukannya hukum asing. Juga ketertiban umum merupakan suatu rem darurat terhadap pemakaian otonomi para pihak secara terlampau leluasa. Ketertiban umum menjaga bahwa hukum yang telah dipiih oleh para pihak adalah tidak bertentangan dengan sendi-sendi asasi dalam hukum dan masyarakat sang hakim13. Pemakaiannya juga harus secara hati-hati dan seirit mungkin, karena apabila terlalu cepat menggunakan rem darurat ini, maka hukum perdagangan internasional juga tidak dapat berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika terlalu banyak mempergunakan lembaga ketertiban umum, berarti kita akan selalu memakai hukum nasional kita sendiri, padahal hukum perdata internasional kita sudah menentukan dipakainya hukum.

Konsep ketertiban umum berlainan di masing-masing Negara. Ketertiban umum terikat pada tempat waktu. Jika situasi dan kondisi berlainan, paham ketertiban umum juga berubah. Public policy juga mempunyai hubungan erat dengan pertimbangan-pertimbangan politis. Boleh dikatakan bahwa pembuat kebijakan memegang peranan yang penting dalam ketertiban umum ini14.

Sesuai dengan prinsip hukum yang universal dan sangat mendasar pula bahwa dikalahkan oleh kepentingan pribadi, oleh karena itu, jika ada kontrak perdagangan yang bertentangan dengan ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di suatu Negara15.

B. Pilihan Hukum Tidak Boleh Menjelma sebagai Penyelundup Hukum

Ada hubungan yang jelas antara penyelundupan hukum dan pilihan hukum. Pada penyelundupan hukum sang individu mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya sendiri. Pada pilihan hukum tidak diadakan pilihan antara: mengikuti undang-undang atau mengikuti urusan yang dibuat sendiri. Pada pilihan hukum, yang dipilih adalah ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi Negara-negara para pihak. Sedangkan pada penyelundupan hukum yang dipilih adalah titik pertalian yang bersifat obyektif seperti misalnya kewarganegaraan, domisili, tempat kontrak dilangsungkan (lex loci contractus), maupun tempat letaknya benda (lex rei sitae). Semua titik pertautan ini dipengaruhi oleh para pihak dalam penyelundupan hukum. Mereka misalnya merubah kewarganegaraan atau memindahkan tempat barang atau membuat kontrak di tempat lain. Semua ini menunjukkan perbuatan-perbuatan yang merupakan penyelundupan hukum16.

Pilihan hukum harus dilakukan secara bonafid, tidak ada khusus memilih suatu tempat tertentu untuk maksud menyelundupkan peraturan-peraturan lain. Dengan lain perkataan yang dapat dipilih adalah hukum yang mempunyai hubungan dengan kontrak.

C. Pembatasan oleh Sistem Hukum Tertentu yang Memaksa (dwingen recht
Salah satu pembatasan dalam pilihan hukum adalah mengenai sistem hukum tertentu yang bersifat memaksa. Para pihak tidak dapat menyimpang dari kaidah-kaidah yang bersifat memaksa. Hal ini sudah umum diterima baik dalam suasana hukum intern maupun internasional17. Hukum yang memaksa (dwingen recht) membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan pilihan hukum. Pembatasan-pembatasan tersebut ditentukan oleh keadaan ekonomi kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil dalam ekonomi18.
E.Asas-asas dalam penentuan pilihan hukum

Asas-asas tentang penentuan “The proper law of contract”
Titik taut sekunder menjadi indikator untuk menentuka the proper law of contract
a)      Asas lex loci contractus
Berdasarkan asas ini “the proper of contract” adalah hukum dari tempat pembuatan kontrak. Tempat dimana dilaksanakannya tindakan terakhir yang dibutuhkan untuk terbentuknya kesepakatan.
b)      Asas lex loci solutionis
Asas lex loci solutionis adalah hukum dari tempat pelaksanaan perjanjian. Asas ini mengangap bahwa” the proper law of contract” adalah lex loci solutionis ini sebenarnya merupakan variasi dari penerapan locus regid actum. Dalam perkembangannya ternyata asa lex loci sulotionis tidak selalu memberikan jalan keluar yang memuaskan. Karena itu dalam praktek, tidak ditutup kemungkinan untuk menundukan bagian-bagian kontrak pada sistem hukum yang berbeda, tetapi hal semacam itu tampaknya akan menyulitkan pengadilan untuk menyelesaikan perkara.
c)      Asas kebebasan para pihak
Asas ini sebenarnya merupakan perkembangan apresiasi terhadap asas utama dalam hukum perjanjian, yaitu setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuki mengikatkan diri pada perjanjian”.


Bab III
Analisis


D. Kasus-kasus

1. Perkara Zechav tahun 1935.
Samuel Jones & Co (ekspor ltd) vs Louis Zecha. Zecha bertempat tinggal di Sukabumi dan berdagang di bawah merek “Soekaboemische Snelpersdrukkerij” menggugat perusahaan Inggris Samuel Jones & co. Berkedudukan di London, menuntut supaya dibayar 12 wessel yang ditarik oleh perusahaan George Mann & Coy Ltd di London. Peralihan wessel kepada Jones hanya perbuatan pura-pura untuk memudahkan penagihan terhadap Zecha. Persoalan yang timbal adalah hukum manakah yang harus dipergunakan untuk endosemen dan cessie yang telah dilakukan. Menurut hakim tingkat pertama, endosmen yang telah ditarik di London menggunakan bahasa Inggris, juga mata uang Poundsterling, Berta lex loci contractusnya adalah di London menurut cara yang berlaku disana. Maka Hakim beranggapan bahwa untuk endosmen berlaku hukum Inggris. Namun Zecha keberatan dan berpendaoat bahwa seharusnya bukan hukum Inggris tetapi hukum Indonesia lah yang dipakai. Pengadilan tinggi juga sependapat, bahwa akta cessie dibuat dalam bahasa Belanda dan juga isi dari akte, hal ini menunjukkan bahwa para pihak telah memilih hukum.
Indonesia sebagai sistem hukum yang harus berlaku. Walaupun cessie dilakukan di London, pengadilan beranggapan bahwa hukum Indonesia lah yang berlaku, bukan lex loci contractus yang menentukan, tetapi maksud dari para pihak dan mengakui pilihan hukum sebagai titik pertalian sekunder untuk kontral hukum perdagangan internasional ini.
2. Kasus “Treller Nicolas” 1924
Mahkamah Agung Belanda yang memutus perkara stoomtreiler Nicolaas, yang telah mengasuransikan sejumlah F. 80.000, untuk perjalanan dari Ijmuiden ke Immingham pulang pergi, asuransi laut ditutup dengan para tergugat, yaitu NV. Mascapai van Assurantie dan 10 maskapai lainnya (di antaranya perusahaan Denmark dan Swedia).
Asuransi ini ditutup atas Casco, ketel, mesin-mesin dan alat perlengkapan kapal tersebut. Dalam perjalanan kapal ini tenggelam, dan penggugat menuntut pembayaran dari maskapai asuransi yang tidak mau membayar. Para tergugat yang terdiri dari 11 maskapai asuransi di mana 6 berkedudukan di Nederland dan berkewarganegaraan Belanda menolak membayar. Meraka beranggapan bahwa pada saat terjadinya kontrak asuransi, para pihak menghendaki pemakaian hukum Inggris. Menurut ketentuan dalam kontrak asuransi, dinyatakan Marine Insurance Act Inggris lah yang berlaku Juga segala kondisi dan urgensi dari polis Llyods Inggris yang dipergunakan, sedangkan polis ini dianggap seolah-olah ditandatangani di London. Mereka beranggapan bahwa polis bersangkutan adalah batal menurut hukum Inggris, karena dalam polis memuat klausula yang melarang hukum Inggris. Dalam klausula ditentukan bahwa tidak diperlukan pembuktian lain mengenai kepentingan nilai atau anggaran kapal yang ditentukan dalam polis tersebut. Klausula ini dianggap bertentangan dengan sectie 4 Marine Insurance Act 1906 yang menetapkan bahwa tiap perjanjian asuransi yang bersifat “perkiraan” adalah batal menurut hukum Inggris, karenanya mereka menolak untuk membayar kepada pihak penggugat.
Sedangkan penggugat beranggapan bahwa, walaupun perjanjian bersangkutan pada umumnya berlakuhukum Inggris, hal ini dimungkinkan pula bahwa untuk hal yang khusus dalam klausul ini berlaku hukum Belanda, karena polis asuransi ditandatangani di Nederland dan 6 dari 11 perusahaan asuransi berkedudukan di Nederland serta berstatus warga Negara Belanda. Tidak perlu seluruh perjanjian tunduk pada satu macam hukum saja, yaitu hukum Inggris, tapi dimungkinkan pula bahwa sebagian lagi, yaitu perjanjian asuransi diatur oleh hukum Belanda.
Oleh Mahkamah Agung Belanda dipertimbangkan bahwa menurut hukum belanda, para pihak tidak diwajibkan untuk mengatur seluruh bagian perjanjian mereka oleh hanya satu macam hukum serta kaidah-kaidah yang memaksia dari suatu hukum asing juga tidak perlu diperlukan jika para pihak tidak menghendaki diberlakukannya kaidah memaksa ini walaupun merkea telah menerima berlakunya hukum asing bersangkutan, perjanjian asuransi bersangkutan tidak batal. Majelis Hakim Mahkamah Agung telah menerima prinsip pilihan hukum oleh para pihak dalam keputusan ini dengan pertimbangan-pertimbangan politis. Boleh dikatakan bahwa pembuat kebijakan memegang peranan yang penting dalam ketertiban umum ini.


BAB IV PENUTUP


KESIMPULAN



        Batas-batas Negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Kemajuan teknologi dan komunikasi mengakibatkan aktivitas ekonomi tidak lagi terkungkung oleh batas-batas Negara. Para pihak sebelum menutup suatu perjanjian dagang, perlu bersikap hati-hati terhadap calon mitra dagang, substansi perjanjian, hak dan kewajiban, resiko, pilihan hukum dan forum penyelesaian sengketa. Para pihak yang mengadakan perjanjian dagang berhak melakukan kesepakatan tentang pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum) yang berlaku bagi perjanjian tersebut. Ketika timbul perselisihan, para pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan mereka dengan menggunakan peradilan dari yurisdiksi yang dipilih.



DAFTAR PUSTAKA

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52fb06158c4bc/bagaimana-cara-menentukan-pilihan-hukum-dalam-suatu-perjanjian/





Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama